Almarhum Yang Kurindu
Oleh:Mahrus Syaiani
Senja itu begitu syahdu. Matahari mulai beranjak untuk pulang ke peraduannya. Angin sepoi-sepoi ikut menyemarakkan suasana sayonara dari sang bagaskara. Ujang, seorang santri lulusan salah satu pondok pesantren di Jawa Timur, tengah duduk termenung di atas gubuk di tengah pematang sawah yang tak seberapa jauh dari rumahnya. Pandangannya yang kosong menelusuri jejak-jejak padi yang menguning dan tertunduk diterpa sinar mentari. Belaian angin yang terus berdesir membawa kesejukan khas daerah pedesaaan.
Entah apa yang membuat pikirannya berkecamuk tak menentu. Dia sedang bingung, cemas dan gundah gulana, seolah telah terjadi pergulatan yang hebat dalam batinnya. Rupanya dia sedang meratapi kepergian Abah Rahman, sesepuh desanya. Abah Rahman adalah orang yang pertama kali mengajarkan agama Islam kepada penduduk di desanya. Lantaran Abah Rahmanlah penduduk kampungnya dapat mengenal apa itu Islam, mengenal Nabi Muhammad SAW, sampai mengetahui permasalahan halal dan haram. Sayang, sang panutan itu sudah dipanggil Allah SWT saat Ujang tengah menuntut ilmu di pondok pesantren. Dia mendapat kabar kalau sesepuh desa ini meninggal, melalui surat yang dikirim oleh salah seorang sahabatnya diwaktu kecil yang dulu sama-sama ngaji pada Abah Rahman. Ujang teringat kembali betapa sabar dan telatennya abah saat mengajarkan ilmu agama pada murid-muridnya. Seolah tak terbesit sedikitpun rasa bosan selama bertahun-tahun berdakwah mulai dari nol. Itupun tanpa meminta imbalan apapun kecuali kesungguhan para murid untuk belajar dan mengamalkan ilmu yang telah disampaikannya. Begitu tawadu’nya sikap abah sehari-hari hingga masyarakat menjadi semakin kagum pada pribadi beliau yang luhur. Keadaan kampung Ujangpun sedikit demi sedikit berubah dari yang dulunya kacau dan gersang akan agama, berubah menjadi damai dan tenteram.
Tapi sejak kematian abah, keadaan masyarakat desa itu kembali jauh dari syariat Islam. Togel dan sabung ayam kembali bermunculan, pelacuran kembali marak, masjidpun sudah kehilangan daya tariknya. Sepi. Entah apa yang harus Ujang lalukan mengingat dia adalah salah seorang lulusan pesantren. Tanpa disadari, tetesan bening mengalir dari pelupuk matanya. Ia marah pada ketidakberdayaan-nya. Ia juga marah pada keadaan yang terlampau berat untuk dihadapinnya. Batinnya merintih perih, pedih oleh beban batin.
Ditengah tangisannya , hati Ujang yang penuh kerinduan pada Abah Rahman berucap:
“Ya Allah .... mengapa Kau benamkan mentari desa kami? Mengapa Kau ambil Abah Rahman dari sisi kami dengan begitu cepat? Sungguh kami ikhlas akan takdir-Mu, tapi tidak bolehkah kami merindukan ketawadu’an Abah Rahman, merindukan mau’idzohnya, nasehat-nasehatnya, dan merindukan ma’mur masjid kami dengan lantunan ayat-ayat-Mu yang beliau ajarkan pada kami?”
*****
Tangis itu sudah reda ketika tiba tiba terdengar suara seseorang mengucapkan salam.
“Assalamu’alaikum!”
Suara yang penuh wibawa tersebut rasanya sudah tidak asing lagi ditelinga Ujang. Laki-laki kurus itupun langsung terkejut melihat siapa orang yang memberi salam. Sesosok lelaki berwajah agak keriput berdiri di hadapannya. Wajah itulah yang selama ini begitu dirindukannya. Wajah dari orang yang mengajarinya membaca untaian kalamullah setiap ba’da maghrib, dan juga wajah dari orang yang berhasil menghembuskan nafas Islam di desanya. Beliaulah Abah Rahman. Serasa di alam bawah sadar, Ujang menjawab salam Abah Rahman dan mencium tangan Abah Rahman dengan penuh ta’dzim. Kemudian Abah Rahman berkata
“Anakku, sekarang sudah waktunya sholat maghrib. Mari kita kembali ke desa!” ujar Abah Rahman.
“ Bab...baik abah.” Jawab Ujang dengan gugup
Sebenarnya Ujang merasa amat penasaran dan kaget perihal kemunculan Abah Rahman. Peristiwa itu terasa amat mustahil mengingat sang abah yang telah mangkat.
Mereka berduapun berjalan beriringan menuju ke desa. Mereka menyusuri pematang sawah yang terlihat remang- remang karena terhalang kabut senja. Tampak di ufuk barat sana matahari mulai meredup sinarnya. Nyanyian jangkrik mulai bersahutan di bawah dedaunan dan bebatuan yang melindungi mereka.
Dalam perjalanan, Ujang menceritakan keadaan di desa sepeninggal Abah Rahman. Mulai dari anak-anak yang lebih suka nongkrong dari pada mengaji di masjid, togel dan sabung yang kembali muncul, sampai orang-orang kaya yang tidak mau mengeluarkan zakat untuk para fakir miskin. Sebagai santri lulusan pesantren, Ujang merasa sangat berdosa karena dia tidak bisa berbuat sesuatu. Ia hanya tertegun tak berdaya melihat keadaan desanya. Padahal setatusnya adalah santri yang notabene dapat menggantikan peran abah dimasyarakat. Mendengar pengaduan Ujang, Abah Rahman pun memberi sebuah nasehat bagi Ujang. Abah Rahman berkata
“Ambillah satu tangkai kefakiran beserta daun sabar dan sebutir tawadlu. Lalu ambillah sebatang khusyu’. Asahlah rendah diri dan kesucian hati, taburkan benih-benih kasih sayang nan lembut yang bisa diterima masyarakat. Celuplah mahabbah (cinta) sampai berbusa buih hikmah (kebijaksanaan). Lalu, jernihkanlah dengan saringan dzikir, tuangkan ke dalam cangkir ridho, kipasilah dengan angin pujian dan rasa syukur keada Allah hingga dingin. Jika sudah dingin, minumlah. Lalu setelah itu berkumurlah dengan sifat wirai. Insya Allah akan ada jalan untukmu”.
Nasehat itulah yang nantinya diharapkan akan menjadi senjata Ujang untuk mengembalikan keadaan desanya seperti sediakala. Setelah memberi nasehat pada Ujang, suara Abah Rahman tak terdengar lagi. Saat itu pula Ujang menoleh ke belakang dan ternyata Abah Rahman sudah tidak ada. Seolah beliau lenyap ditelan bumi.
*****
Saat itu Ujang seakan baru bangun dari alam bawah sadarnya. Untaian tasbih dilafalkannya pada Al-Khalik, Dzat yang penuh misteri. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari pengeras suara masjid di kampungnya. Dia masih bingung atas terjadinya peristiwa tadi. Lalu tiba-tiba, ia teringat pada sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang artinya:
“ Dan janganlah kamu mengatakan (bahwa) orang-orang yang terbunuh dijalan Allah (Mereka) telah mati. Sesungguhnya (mereka) hidup tapi kamu tidak menyadarinya.”
Subhanallah.....!!! terpekur Ujang menyaksikan kekuasaan Allah....[hilmanking]
MUNCAK BARENG DI SINDORO TEMANGGUNG
-
Ini adalah foto-foto waktu acara muncak ke Gunung Sindoro Temangung
16 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar