Budayaku-budayaku, Budayamu-budayamu
Oleh : Jhonihan
Kutatap negara Indonesiaku, kuamati dengan mata kepalaku. Tak terasa negaraku telah berusia 63 tahun lebih, padahal rasanya baru kemaren Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Penjajah telah lama hengkang dan tak menampakkan batang hidungnya di negara kita. Kemerdekaan yang berabad-abad dinantikan pun bagaikan kesegaran meneguk air di gurun sahara setelah kelelahan menaklukkan lautan pasir.
Kemerdekaan telah membentuk karakteristik sendiri bagi kita, sehingga kita mempunyai atribut jati diri dan ciri khas tersendiri dimata bangsa lain. Hal itu tentunya merupakan suatu karunia Tuhan yang tak ternilai harganya yang patut kita syukuri bersama. Lihat saja, Indonesia terkenal sebagai surga dunia katakanlah begitu. Di mana-mana terhampar luas persawahan yang hijau, sehijau batu zamrud. Ombak laut beriak kejar mengejar, angin berhembus sepoi-sepoi menggerakkan daun-daun di pepohonan rimbun hutan tropis, sungai mengalir dari dataran tinggi ke dataran rendah meliuk-liuk bagaikan ular naga Cina yang anggun. Keanekaragaman budaya dan suku ras yang menyebar di seluruh pelosok nusantara menjadikan Indonesia mempunyai keberagaman budaya yang begitu banyaknya. Mulai dari nyanyian, tarian, sampai upacara adat yang mempunyai cara dan tradisi sendiri-sendiri merupakan kebudayaan yang multikultural.
Namun, akibat keterlenaan yang tidak kita nyana dan kita duga, rupanya penjajah yang baru sudah mulai masuk dan mencoba menguasai kembali kehidupan bangsa Indonesia. Tapi penjajahan ini dengan model yang berbeda. Penjajahan yang lebih berbahaya daripada sekedar adu fisik atau kontak senjata. Penjajahan yang lebih pada idiologi yang kita anut selama ini. Lihat saja realita yang ada. Bangsa ini seolah-olah tak lagi mempunyai kepedulian terhadap kebudayaan yang dulu selalu dielu-elukan. Dan yang lebih buruk lagi, kita malah tak ambil pusing dengan adanya penjarahan kebudayaan kita yang dilakukan oleh negara lain. Sungguh ironis sekali. Dengan alasan mengikuti zaman kita telah menghalalkan perbauatan melok-melok. Wah gawat! kalau jadinya kayak gini, entah siapa yang harus kita salahkan. Haruskah kita salahkan pemerintah yang kurang tegas dalam menyikapinya atau kitalah yang yang patut disalahkan? Tentu saja kita yang patut disalahkan karena berkedudukan sebagai ahli waris kebudayaan itu. Sudah semestinya bagi ahli waris untuk mengurus warisannya, khan?
Kita lihat saja, dulu sewaktu tanah kampung masih luas, banyak anak-anak yang bermain (untuk permaian jawa_red) kelereng, layang-layang dan yang anak perempuan bermaian pasar-pasaran, dakonan, cublek-cublek suweng dan sederet permaian tradisional lainnya. Tapi kini lahan mereka untuk bermain telah tergusur oleh gedung apartemen, pabrik, ruko, mall dll., sehingga makin sempitlah lahan bermaian mereka. Lama kelamaan permainan tradisional tadi tergantikan oleh Play Station, i-Pod, X-box dan sederet permainan modern yang semakin hari semakin banyak variasinya. Lalu, akan dikemanakan kebudayaan asli bangsa kita? Padahal sungguh itu semua adalah aset yang tak ternilai harganya.
Mengapa kok hanya kita? Memangnya pemerintah tidak bersalah? Tentunya iyak! Tapi coba pikir lagi, kalau kita menyalahkan pemerintah, bukankah pemerintah juga lahir dari kita? Coba kita mengaca diri sendiri dari seni budaya berpakaian. Kita lebih sering berpakaian dengan baju yang kurang bahannya atau katakanlah yang mini-mini atau cekuk-cekuk. Kita lebih bangga memakai nama Joni, Robert, Alex dari pada memakai nama Legi, Klepon, Suro, Pahing dan nama-nama lain yang berbau originalitas Indonesia. Kita juga lebih mengagumi orang blesteran dari pada asli keturunan Indonesia.
Endingnya, sebagai warga Indonesia tulen kita tidak harus malu dengan apa yang kita punya. Kita harus bangga dengan kebudayaan asli kita, seperti: ketoprak, ludruk, wayang, tayub, macapatan, reog, dll. Temanku pernah berkata “tak selamanya orang memakai blangkon itu blo’on”. Jadi nggak usah minder ketika ada kebudayaan lain yang dianggap spesial dan hebat oleh media komunikasi. So, kita harus berani mengatakan budayamu ya budayamu, budayaku ya budayaku. Back to nature. Ayo kita kembali ke pohon!!![hilamanking, ahma]
MUNCAK BARENG DI SINDORO TEMANGGUNG
-
Ini adalah foto-foto waktu acara muncak ke Gunung Sindoro Temangung
16 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar